MAKALAH
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
Disusun Oleh :
Nurul Hidayatur Rahmah
1111017000001
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat
limpahan karunia, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun makalah
ini sehingga selesai pada waktunya.
Makalah
yang berjudul “Hubungan Islam dan Negara di Indonesia” ini disusun dan
dibuat berdasarkan materi yang sudah ada. Selain untuk memenuhi tugas
mata kuliah pendidikan kewarganegaraan, pembuatan makalah ini bertujuan
agar dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca. Penulis mengharapkan
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.
Ucapan
terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
mendukung dalam penyusunan makalah ini. Akhir kata, penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan
saran dari para pembaca untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Jakarta, Desember 2011
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
Latar Belakang
Maksud dan Tujuan
Metode Pembahasan
Rumusan Masalah
BAB II Pembahasan
Sejarah Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
Sifat Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
Sikap Negara atau Pemerintah terhadap Islam
Hubungan Islam dan Negara pada Era Reformasi
Konsep Islam dalam Negara Indonesia
BAB III Penutup
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Latar Belakang
Maksud dan Tujuan
Metode Pembahasan
Rumusan Masalah
BAB II Pembahasan
Sejarah Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
Sifat Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
Sikap Negara atau Pemerintah terhadap Islam
Hubungan Islam dan Negara pada Era Reformasi
Konsep Islam dalam Negara Indonesia
BAB III Penutup
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membicarakan
masalah hubungan agama dan negara adalah sesuatu yang menarik,
mengapa? Kita tahu agama dan negara bagaikan dua sisi mata uang yang
saling melengkapi, tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama
tetap memberikan irama terhadap kehidupan sosial bernegara karena agama
merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau individu yang
menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya . Sehingga,
peranan agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari
kehidupan manusia.
Sebaliknya,
negara sangat menentukan terhadap perkembangan suatu agama di
wilayahnya. Kebijakan-kebijakan terhadap hal yang berbau keagamaan
sangat mempengaruhi terhadap terciptanya masyarakat madani (civil society)
seperti yang menjadi cita-cita kedua belah pihak. Bila kebijakan negara
cenderung berpihak kepada salah satu agama tertentu, tak ayal jika
negara atau keadaan negara tidak akan kondusif, timbul konflik yang
mengarah ke unsur SARA.
Hubungan antara Islam dan negara selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena dua alasan: pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu kait-mengkait, yakni agama dan masyarakat. Kedua,
percobaan mengatur masyarakat berdasarkan Islam, telah sering terjadi
dan mengalami pasang surut. Dari sekian percobaan dapat disimpulkan
bahwa kesemuanya dalam taraf coba-coba dan belum ada yang sepenuhnya
berhasil, termasuk di Indonesia.
Masalah
hubungan Islam dan negara di Indonesia menjadi salah satu persoalan
hubungan agama dan negara yang unik untuk dibahas, karena tidak saja
karena Indonesia merupakan negara yang mayoritas warga negaranya
beragama Islam, tetapi karena kompleksnya persoalan yang muncul.
Sekalipun Islam tidak disebut dalam konstitusi sebagai agama negara,
Islam di Indonesia merupakan suatu agama yang hidup dan dinamis.
Islamisasi di Indonesia bukanlah suatu produk sejarah yang telah
rampung, tetapi merupakan proses yang berkelanjutan. Berdasarkan kondisi
tersebut, perlu dibahas kembali tentang hubungan Islam dengan
pemerintah sebagai badan eksekutif kenegaraan supaya peranan umat Islam
dapat terlihat lebih jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. Maksud dan Tujuan
Dengan
ditulisnya makalah ini, penulis berharap dapat membantu memberikan
pengetahuan mengenai hubungan Islam dan negara di Indonesia sehingga
dapat bermanfaat bagi para pembaca.
C. Metode
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode :
1. Metode
deskriptif, sebagaimana ditunjukan oleh namanya, pembahasan ini
bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau
kelompok orang tertentu atau gambaran tentang suatu gejala atau hubungan
antara dua gejala atau lebih (Atherton dan Klemmack: 1982).
2. Penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan,
mengumpulkan data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan
lainnya yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang diteliti.
D. Rumusan Masalah
Banyak
persoalan yang perlu dibahas mengenai hubungan Islam dan negara di
Indonesia. Namun untuk membatasi ruang lingkup dalam pembahasan masalah,
penulis hanya membatasi pada masalah :
1. Sejarah hubungan Islam dan negara di Indonesia
1. Sejarah hubungan Islam dan negara di Indonesia
2. Sifat hubungan agama dan negara di Indonesia.
3.Sikap negara atau pemerintah terhadap agama Islam.
4.Hubungan Islam dan negara pada era reformasi.
5. Konsep Islam dalam negara Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hubungan Islam dan Negara di Indonesia
Silang
perdebatan dalam menerapkan syari`at Islam secara total dalam menata
kehidupan sosial-politik, setidaknya dapat ditengok sejak mula Indonesia
mendapatkan anugerah kemerdekaan. Dengan belum tersedianya seperangkat
aturan dan sistem yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, beberapa pemimpin
umat Islam berupaya mendesakkan syari`at Islam untuk diterapkan.
Tuntutan itu pun sempat terakomodir.
Tapi,
tuntutan yang semula terakomodir dengan perkataan… “dengan kewajiban
menjalankan syari`at Islam bagi pemeluk-pemeluknya… “ yang tertuang di
mukadimah dan pasal 29 UUD 1945 ternyata tidak berlangsung lama. Pada
tanggal 18 Agustus 1945, setelah melewati saat-saat kritis, perkataan
itu pun dicoret. Meski kemudian modifikasi sila pertama Ketuhanan Yang
Maha Esa itu dapat dikata jadi jalan tengah yang diilhami dari konsep
tauhid tapi wakil-wakil umat Islam masih merasa keberatan dengan formula
baru Pancasila.
Usai
pemilu 1955, tuntutan untuk memperjuangkan dasar negara Islam seperti
mendapatkan momentum kembali. Sejarah mencatat, sidang Majelis
Konstituante di bawah kepemimpina Ir Soekarno untuk menentukan dasar
negara Islam atau pancasila, tak mencapai keputusan final. Perdebatan
sengit selama sidang antara partai-partai Islam dan pendukung Pancasila
dalam mengokohkan dasar negara
menemui
jalan buntu. Selama kurang lebih dua puluh bulan tidak ada kata
sepakat. Konstitusi menemui jalan buntu serius.
Di
tengah kebuntuan itu, Soekarno sebagai penguasa yang didukung militer
lalu melakukan intervensi. Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959.
Dengan keluarnya Dekrit Presiden itu, Soekarno membubarkan Konstituante
dan menetapkan kembali UUD 1945 dan menyingkirkan usulan dasar Islam.
Tentu, rekam jejak saat-saat genting perdebatan sidang Majelis
Konstituante tentang dasar negara itu sangat menarik untuk dicermati.
Studi Komprehensif
Buku Ahmad Syafi`i Ma`arif yang berjudul Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante ini coba merekam “perdebatan antara wakil-wakil partai Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan wakil partai nasionalis yang mendukung Pancasila. Buku terjemahaan dari desertai penulis di Chicago Universy ini, cukup kompatibel jadi referensi tentang perdebatan sengit dasar negara Indonesia dalam sidang Majelis Konstituante.
Buku Ahmad Syafi`i Ma`arif yang berjudul Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara; Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante ini coba merekam “perdebatan antara wakil-wakil partai Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara dan wakil partai nasionalis yang mendukung Pancasila. Buku terjemahaan dari desertai penulis di Chicago Universy ini, cukup kompatibel jadi referensi tentang perdebatan sengit dasar negara Indonesia dalam sidang Majelis Konstituante.
Dalam
Majelis Konstitusi, pada awalnya ada tiga rancangan (draf) tentang
dasar negara yang diajukan oleh tiga fraksi. Ketiga rancangan itu
adalah; Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi (diajukan Partai Murba dan
Partai Buruh). Tetapi, draf Sosial Ekonomi tersebut seperti kehilangan
gaung. Sementara perdebatan sengit dari wakil partai Islam –yang
menginginkan Islam sebagai dasar negara- dan partai nasionalis yang
mendukung Pancasila mewarnai sidang.
Wakil dari partai Islam meneguhkan bahwa tuntutan untuk membumikan Islam sebagai dasar negara itu, tidak lain merujuk realitas kehidupan sejarah di masa nabi saat membangun Madinah. Tapi di mata Syafi`i, Islam cita-cita yang terbangun di masa nabi itu kerap tidak dipisahkan oleh para penggagas negara Islam yang berada dalam dimensi Islam sejarah. Padahal sebagaimana diungkapkan Fazlur Rahman, antara Islam cita-cita dan dan Islam sejarah, “Harus ada kaitan positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin.”
Umat Islam Indonesia, tak bisa ditepis memiliki idealisme itu. Sayang, sebagian besar dari mereka –di mata Syafi`i—masih kekurangan visi yang cukup dan kemampuan intelektual dalam memahami jiwanya yang dinamik dan kreatif. Tetapi –sekali pun tak berhasil— perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di sidang Majelis Konstituante tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan Islam cita-cita dalam konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami wakil partai Islam.
Selain merujuk kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam merujuk teori politik Islam sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain. Dari modernisme Islam yang diwariskan para pendahulu itu, wakil-wakil Islam seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan Natsir hendak membangun pilar Islam sebagai dasar negara di bumi Indonesia.
Wakil dari partai Islam meneguhkan bahwa tuntutan untuk membumikan Islam sebagai dasar negara itu, tidak lain merujuk realitas kehidupan sejarah di masa nabi saat membangun Madinah. Tapi di mata Syafi`i, Islam cita-cita yang terbangun di masa nabi itu kerap tidak dipisahkan oleh para penggagas negara Islam yang berada dalam dimensi Islam sejarah. Padahal sebagaimana diungkapkan Fazlur Rahman, antara Islam cita-cita dan dan Islam sejarah, “Harus ada kaitan positif dan dapat dipahami agar gerak maju dari yang riil menjadi mungkin.”
Umat Islam Indonesia, tak bisa ditepis memiliki idealisme itu. Sayang, sebagian besar dari mereka –di mata Syafi`i—masih kekurangan visi yang cukup dan kemampuan intelektual dalam memahami jiwanya yang dinamik dan kreatif. Tetapi –sekali pun tak berhasil— perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan dasar Islam di sidang Majelis Konstituante tahun 1950-an, adalah bagian dari upaya membumikan Islam cita-cita dalam konteks politik kenegaraan sebagaimana yang dipahami wakil partai Islam.
Selain merujuk kehidupan zaman nabi, wakil partai Islam merujuk teori politik Islam sebagaimana yang digagas Jamal ad-Din al-Afghani, Abduh, Rasyid Ridha, dan lain-lain. Dari modernisme Islam yang diwariskan para pendahulu itu, wakil-wakil Islam seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Sukiman dan Natsir hendak membangun pilar Islam sebagai dasar negara di bumi Indonesia.
Sayang,
konteks Indonesia yang kemudian menjadikan Pancasila sebagaimana
digagas untuk merangkup kebhinnekaan nusantara itu lebih menguat di
bawah tangan Soekarno. Soekarno yang sedari awal memuja sekularisme
Turki, membubarkan Sidang Konstituante yang waktu itu tidak menghasilkan
kesepakatan, sehingga keluarlah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan
Dekrit itu, Indonesia mengukuhkan sistem politik baru --dikenal dengan
Demokrasi Terpimpin –sehingga tertutup pintu untuk menjadikan Islam
sebagai dasar negara.
Keinginan
membumikan negara Islam itu, semata-mata dilatarbelakangi beban sejarah
untuk mengembalikan “harkat dan martabat umat Islam” yang terpuruk
akibat penindasan politik dan ekonomi Barat. Sayang jihad melawan Barat
itu bukan membuat Islam menjadi cemerlang, melainkan justru mendapat
citra yang kian jauh darai kesan damai karena Islam ditengarai agama
yang tidak membawa misi kemanusiaan.
B. Sifat Hubungan Agama dan Negara di Indonesia
Mengkaji
hubungan agama,dalam hal ini Islam dan negara di Indonesia, secara umum
dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yakni hubungan yang bersifat
antagonistik dan hubungan yang bersifat akomodatif. Dalam hal ini,
Indonesia pernah mengalami masa dimana hubungan agama dengan negara
bersifat antagonistik maupun akomodatif.
1. Hubungan agama dan negara yang bersifat antagonistik
Hubungan
antagonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan
antara negara dengan agama. Akar antagonisme hubungan antara Islam dan
negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman
keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat
ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elit politik nasional
terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia
merdeka. Dengan demikian pada masa ini negara betul-betul mencurigai
Islam sebagai kekuatan yang potensial dalam menandingi eksistensi
negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri pada masa itu memiliki ghirah
yang tinggi untuk mewujudkan Islam sebagai sumber ideologi dalam
menjalankan pemerintahan.
2. Hubungan agama dan negara yang bersifat akomodatif
Hubungan
akomodatif lebih dipahami sebagai sifat hubungan dimana negara dan
agama satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki
kesamaan untuk mengurangi konflik. Munculnya sikap akomodatif negara
terhadap Islam lebih disebabkan oleh adanya kecenderungan bahwa umat
Islam Indonesia dinilai telah semakin memahami kebijakan negara,
terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asa tunggal
Pancasila.
Negara melakukan akomodasi terhadap Islam dengan alasan, pertama, dari
kacamata pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak dapatdiabaikan
yang pada akhirnya kalau diletakkan pada posisi pinggiran akan
menimbulkan masalah politik yang cukup rumit. Kedua, di
kalangan pemerintah sendiri terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu
fobi terhadap Islam, bahkan mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat
sebagai akibat latar belakangnya, misalnya saja Emil Salim, B.J.
Habibie, Akbar Tandjung dan lain sebagainya. Mereka tentu saja berperan
dalam membentuk sikap politik pemerintah untuk tidak menjauhi Islam. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap dan orientasi politik di kalangan umat Islam itu sendiri.
C. Sikap Negara atau Pemerintah terhadap Islam
Percobaan mengatur masyarakat berdasarkan Islam, menimbulkan
sikap arogan dari pemerintah. Sebetulnya sikap preventif terhadap usaha
penerapan syariat sebagai landasan hukum tidak hanya pemerintah
melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah yang disebut hubungan
agama dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita tidak setuju
jika masalah agama di bawa ke wilayah Negara.
Masdar
F. Mas’udi beranggapan bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim
yang baik sekaligus menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Untuk
menjadi warga apalagi pemuka bangsa yang sejati seorang muslim mesti
terlebih dahulu melampui (mengaburkan) batas-batas keIslamannya. Sulit
rasanya seorang pemimpin umat dari agama mayoritas seperti Islam di
Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin.
Pernyataan yang disampaikan beliau memang bukan tanpa alasan. Kalau
kita menilik sejarah ke belakang baik pemimpin pasca proklamasi maupun
orde baru, semua pemimpin bangsa ini tidak begitu kental keIslamannya.
Sebagai paradigma politik memimpin bangsa ini justru lebih suka
mengadopsi pemikiran (nilai-nilai) budaya.
Bahkan
di era orde baru sikap preventif terhadap ormas atau organisasi agama
begitu getol. Pemerintah berusaha mengkerdili umat Islam yang ingin
memperjuangkan ajarannya lewat jalur sturktural.
Sejumlah fakta menunjukkan hal tersebut, misalnya Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) sebagai partai resmi Islam selalu dibuat kerdil dengan
berbagai cara, kegiatan-kegiatan semi kekerasan dibabat habis tanpa
ampun, misalnya kasus Tanjung Priok, Lampung dan lain-lain. Semua hal
itu dilakukan orde baru terhadap umat Islam karena orde baru sangat
trauma dengan masa lalu di mana politik Islam sangat potensial untuk
menggalang massa dan berbalik menyerang pemerintah sekaligus menjadi
oposisi abadi kepada siapapun yang tengah berkuasa.
D. Hubungan Islam dan Negara pada Era Reformasi
Era
reformasi disebut-sebut sebagai masa cerah bagi kehidupan bangsa
Indonesia. Demokrasi, katanya, benar-benar tegak, keberadaaan pers,
organisasi politik, ormas tidak lagi dibungkam dan dikerdilkan. Semua
wahana ekspresi diberikan kebebasan sepenuhnya. Masa reformasi ditandai
dengan tumbangnya rezim Soeharto pada pertengahan 1998, tepatnya saat
Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan
wakil presiden BJ Habibe.
Reformasi
yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 ini menyebabkan perubahan
drastis dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan.
Perubahan drastis yang menonjol dibidang politik pasca orde baru antara
lain: hilangnya kekuasaan represif dan bubarnya sistem bureaucratic politypemerintah dipegang segelintir orang berubah menjadi pemerintah yang dipegang oleh perwakilan rakyat secara riil.
Perubahan
birokrasi ternyata berdampak terhadap kebijakan-kebijakan terhadap
semua aspek kehidupan bernegara termasuk kebijakan bersuara dan
mengeluarkan pendapat. Di saat orde baru berkuasa, kebebasan bersuara
dan mengeluarkan pendapat hanya sebatas retorika belaka.
Bahkanpemerintah orde baru cenderung berperilaku sebagai rezim praetorian yang memiliki banyak kontrol yang mengawasi kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina Negara hingga persoalan personal semacam keluarga berencana.
Karena
begitu ketatnya kontrol Negara sehingga berubah menjadi “bom waktu”
yang terbukti saat reformasi. kontrol tersebut melahirkan “dendam
kesumat” bagi anak bangsa yang merasa terkekang sehingga pasca reformasi
banyak bermunculan organisasi-organisasi massa (baik politik maupun
kemasyarakatan) maupun lembaga press. Bahkan kata reformasi berubah
menjadi “senjata” untuk melegalkan perbuatan individual maupun komunal.
Perubahan
tersebut dimanfaatkan oleh umat Islam untuk memperjuangkan ajaran
agamanya agar setidaknya menjadi sumber hukum formal dalam kehidupan
bernegara. Perjuangan ini lebih dikenal dengan perjuangan jalur
strukturalis, yang mana di era orde baru pintu ini tertutup rapat dan
pemerintah hanya membuka pintu kulturalis. Pernyataan selanjutnya adalah
mengapa umat Islam begitu ambisius untuk memasukkan syariat ke dalam
hukum Negara ini?
Dari
sudut kuantitas, umat Islam merupakan mayoritas sehingga sudah
sewajarnya jika p emerintah selalu memperhatikan kepentingan umat
Islam dan mengakomodasikan sebanyak mungkin aspirasi Islam. Dengan kata
lain, pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan programnya harus
lebih memihak kepada Islam. Persoalan yang timbul adalah bagaimana
dengan nasib umat minoritas? Keadaan mereka sebenarnya dalam posisi
tidak aman. Mereka belum sepenuhnya percaya pada iktikad baik kelompok
mayoritas yang berjanji akan melindungi eksistensi mereka.
Selain
dilihat dari sudut kuantitas umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi
umat Islam itu sendiri yakni Al-Quran dan As-Sunah. Agama Islam tidal
pernah membedakan persoalan individu dengan persolan masyarakat, urusan
dunia yang profan dan urusan akhirat yang trasendetal.
Dunia
dan akhirat adalah dunia yang saling menjalin, seperti yang tersirat
dalam ajaran Islam bahwa “dunia adalah ladangnya akhirat”. Karena dunia
dipandang sebagai “ladang” sudah barang tentu keberadaan “ladang”
tersebut harus dikelola sesuai dengan tata krama-Nya. Agar kelak
memberikan bekal yang baik di alam transenden. Kensekuensinya seluruh
aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun individu harus “manut”
dengan aturan tersebut. Dalam bermasyarakat atau berkelompok selalu
memiliki tujuan-tujuan agama dan sekaligus mengabdi pada lestarinya
nilai-nilai agama. Lebih jauh maka seluruh aktivitas muslim selalu
diupayakan selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam sumber pokok Islam,
Al-Quran dan As-Sunah.
Semuanya
itu perlu pengimplementasian dalam kehidupan kalau perlu diwujudkan
dalam bentuk Negara, mengapa harus negara? Karena Negara mempunyai
kekuasaan sekaligus wilayah yang membawahi rakyat. Dengan demikian
harapan yang muncul adalah masyarakat bisa taat pada hukum Islam karena
sudah ada institusi legal yang bisa menuntut sangsi bila hukum tersebut
tidak dijalankan. Yang perlu digaris bawahi adalah bagi Islam tujuan
bernegara adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan bersama, keadilan
sosial. Oleh sebab itu, bagi Islam Negara adalah instrument bagi segenap
warganya untuk merealisasikan cita-cita keadilan social.
Yang
menjadi pertanyaan adalah bagimana mengartikulasikan wujud cita-cita
tersebut di tengah pluralnya masyarakat? Untuk menjawab apalagi
mengartikulasikan tidaklah mudah, banyak kendala yang dihadapi di
lapangan. Setidaknya ada dua kendala yang menjadi batu sandungan yakni
kendala konsepsional dan kendala praktis. Kendala konsepsional adalah
kendala bagaimana ajaran Islam yang normativ dapat dijabarkan menjadi
separangkat aturan yang berfungsi untuk pelaksanaan di lapangan.
Sedangkan kendala praktis yaitu kendala bagaimana implikasi praktis yang
sangat mungkin timbul pada masyarakat yang plural.
Mohtar
Mas’oed menuliskan bahwa setidaknya ada dua pendekatan sebagai upaya
pengartikulasikan Islam dalam kehidupan masyarakat yaitu pertama,
Islamisasi Negara nasional untuk kepentingan umat Islam dan kedua
Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional. Yang
dimaksud Islamisasi negara adalah upaya merealisasikan ajaran dalam
Negara. Negara Indonesia di upayakan berdasarkan Islam. Pandangan ini
muncul karena melihat kenyataan kuantitas umat Islam memang menjadi umat
terbanyak dan sudah sewajarnya bila hukum Islam dijadikan sumber hukum
Negara. Alasan logis karena yang akan merasakan adalah umat Islam. Toh,
dalam hukum Islam juga ada hukum-hukum yang mengatur umat non-Islam yang
disebut kaum zimmi. Keberadaan mereka tidak dikesampingkan
begitu saja bahkan ajaran Islam menyuruh umatnya melindungi nyawa dan
harta benda mereka.
Kritik
bermunculan ketika cara ini akan ditempuh karena dinilai cara ini
terlalu diskriminatif. Mereka mengatakan kemerdekaan Indonesia tidaklah
semata-mata diraih umat Islam. Serta semenjak dahulu kepulauan nusantara
tidak hanya dihuni oleh satu umat melainkan berbagai jenis umat,
kepercayaan. Jadi kalau ada hukum agama yang dijadikan hukum
konstitusional adalah mengingkari kenyataan bahwa negara ini memang
plural. Selain itu mereka mencurigai umat Islam sebagai umat yang
hegemonik dan egois kerena terlalu ambisius mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Lebih jauh lagi, umat Islam akan dianggap ekstrim, karena
menganggap atau merasa bahwa agamanya yang paling benar.
Memang
jalur struktural atau Islamisasi Negara nasional sering kali mengalami
benturan baik dengan penguasa maupun dengan pihak umat agama lain.
Pendekatan lain untuk mengartikulasikan Islam adalah Islamisasi
masyarakat dalam Negara nasional, yang dimaksud dengan pendekatan ini
adalah penterjemahan politik Islam secara substansial, yakni
ajaran-ajaran Islam diterjemahkan dalam bahasa- bahasa ekonomi,
kemanusiaan, hak asasi manusia, pemberdayaan masyakat, dan lain-lain.
Pendekatan ini memandang perjuangan Islam tidaklah sempit, yaitu
terbatas pada arena politik dan parlemen, namun lebih luas dari itu,
yaitu meliputi kebudayaan, pendidikan dan lain-lain. Bagi mereka yang
menggunakan pendekatan ini yang penting adalah pesan-pesan pokok Islam
dapat terwujud seperti semangat egalitarian, humanitas, demokrasi,
keadilan sosial, dan lain-lain serta tidak mengedepankan wacana negara
Islam.
Pendekatan
model ini lebih disukai oleh tokoh-tokoh Islam dan penguasa. Selain
itu, pendekatan ini lebih mengedepankan sikap saling mejaga keharmonisan
antara umat beragama serta menjaga hubungan Islam dan penguasa yang
selama ini selalu terjadi konflik diantara mereka. Pendekatan ini memang
harus dipahami umat Islam sendiri bahwa pendekatan ini lebih
menguntungkan bagi keberlangsungan Negara dan agama. Syarat ayang harus
di miliki adalah bagimana memandang dan memperlakukan Islam sendiri.
Apakah Islam dipandang secara tekstual atau memahami hakikat mengapa
Islam itu diturunkan. Secara hakikat Islam turun sebagai rahmatan lil ‘alamin,
sebagai rahmat bagi alam. Tentu banyak jalan untuk membumikan pada
tatanan kehidupan masyarakat sehingga terwujud masyarakat madani. Semua
ini asalah tinggal umat Islam sendiri memandang Islam, sebatas kulit
atau menyeluruh. Yang penting bagi umat Islam adalah mempunyai sikap “ojo rumongso biso nanging biso rumongso” atau menyebarkan Islam dengan “bil hikmah wa mauidlotul hasanah”.
E. Konsep Islam dalam Negara Indonesia
Islam adalah faktor penting dalam bangunan kebangsaan Indonesia. Sumber
daya budaya, sosial dan politik serta ekonomi negara ini secara
potensial berada dan melekat dalam tubuh warganya yang mayoritas muslim.
Kolaborasi Islam dan budaya lokal selama berabad-abad hingga cucuran
keringat, air mata dan darah para syuhada’ telah
memperkokoh bangunan ke-Indonesia-an modern. Sejarah Indonesia juga
mencatat penolakan dan penentangan umat Islam terhadap penindasan
kolonialisme. Agenda ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan keagamaan
yang digerakkan oleh SI, Muhammadiyah dan NU terbukti mengusung
cita-cita luhur memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan dan pemerintahan
sendiri oleh rakyat Indonesia.
Demikian halnya para tokoh pergerakan nasional dari kalangan muslim,
meskipun mereka kelihatan berbeda-beda penekanan dan perspektifnya
tentang nasionalisme Indonesia, tak diragukan lagi kecintaan dan
komitmen mereka pada perjuangan terwujudnya negara bangsa Indonesia yang
merdeka dan berdaulat.
Fakta-fakta tersebut cukup menjelaskan bahwa Islam tidak merintangi
nasionalisme, justru dari rahim Islamlah, nasionalisme Indonesia dapat
tumbuh subur. Pergerakan-pergerakan Islam sudah lama mempunyai ikatan
kebangsaan lebih kuat jika dibandingkan dengan organisasi lokal yang
masih berbasis etnik, termasuk Budi Utomo yang berbasis kepentingan
priyayi Jawa.
Jika kehidupan bernegara ditujukan untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur, maka tentulah berkenaan dengan umat Islam Indonesia. Maka umat
Islam juga harus mengambil peran strategis dan kreatif memajukan
Indonesia menuju negara plural yang kuat. Penolakan terhadap nation-state dalam
sisi tertentu menunjukkan kekhawatiran berlebihan terhadap subordinasi
Islam oleh negara, juga merupakan ekspresi dari ketidakberdayaan
mengambil peran-peran kreatif dan strategis dalam merealisasikan
keIslamann dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan mempertimbangkan keragaman agama sebagai salah satu faktor dalam
nasionalisme, maka perjuangan mewujudkan berlakunya syari’at Islam di
tengah-tengah masyarakat dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan
kultural dan struktural melalui sarana politik, sebagai bentuk dari
pengamalan syuro. Dalam konteks ini maka pilihannya bukan negara Islam
atau juga sistemkhilafah yang
menerapkan syariah atau negara sekuler yang menolak syariah, tapi
negara Indonesia yang merealisasikan nilai-nilai universal ajaran agama
(Islam) dalam bingkai Ukhuwwah Basyariyyah, Ukhuwwah Islamiyyah, dan
Ukhuwwah Wathaniyyah.
Islam dan Nasionalisme Indonesia adalah dua sisi mata uang yang saling
memberikan makna. Keduanya tidak bisa diposisikan secara diametral atau
dikhotomik. Nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas
sebagai konteks utama yang darinya dapat melahirkan ikatan dasar yang
menyatukan sebuah negara bangsa. Idealnya umat Islam tidak perlu merasa
khawatir kehilangan identitasnya karena persenyawaannya dalam negara
bangsa. Perjuangan yang ditekankan untuk menonjolkan identitas atau
simbol-simbol keIslaman dalam kerangka perjuangan politik kebangsaan
hanya merupakan cerminan kelemahan umat Islam sendiri. Selain itu,
meskipun terbuka peluangnya di alam demokrasi ini, penekanan berlebihan
dalam hal itu akan potensial menjadi penyulut disintegrasi, dan ini
tidak sejalan dengan nasionalisme itu sendiri. Idealnya, perjuangan
politik umat Islam menekankan pada penguatan nasionalisme Indonesia
dengan memperkokoh faktor-faktor perekat kebangsaan yang secara
substantif. Nilai-nilai dimaksud merupakan nilai-nilai universal Islam
yang menyentuh kesadaran pragmatis warga negara, seperti keadilan,
kesejahteraan, kepercayaan, dan sebagainya.
Itulah sebabnya Al mawardi, dalam kitab al-Ahkam al Shulthaniyyah mempersyaratkan
keadilan bagi seorang pemimpin negara dan tidak memasukkan syarat harus
beragama Islam, dan dalam kitabnya yang lain, yakni Adab al-Dunya wa al-Din ia
merumuskan proposisi bahwa umur persatuan sebuah bangsa sesungguhnya
ditentukan oleh keadilan dalam bangsa itu. Selama keadilan ada dalam
kehidupan bangsa itu, selama itu pula mereka akan tetap bersatu. Begitu
keadilan berganti dengan kezhaliman, maka tunggulah saat perpecahan
mereka.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjabaran yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan
bahwa Islam merupakan faktor penting dalam negara Indonesia. Agenda
ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan keagamaan yang digerakkan oleh
para organisasi Islam terbukti mengusung cita-cita luhur memperjuangkan
terwujudnya kemerdekaan dan pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia.
Adapun hubungan Islam dan negara di Indonesia dapat berupa hubungan yang
bersifat antagonistik dan bersifat akomodatif. Dimana antagonistik
adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan, sedangkan
akomodatif adalah sifat hubungan yang saling mendukung satu sama lain.
B. Saran
Dengan
meletakkan Islam secara tegas sebagai sumber inspirasi dan nilai atas
negara, maka diharapkan akan segera menyelesaikan hubungan yang
antagonistik yang selama ini terbangun. Ketegasan itu dirasa penting
untuk memberikan “kesimpulan” mengenai hubungan Islam dan negara, di
saat politik identitas dan radikalisasi atas nama agama yang semakin
menguat akhir-akhir ini di Indonesia.
Para
ormas Islam hendaknya tidak terlalu gegabah dalam memperjuangkan Islam
di Indonesia. Pemerintah ataupun negara seharusnya memaklumi, bahwa
Islam di Indonesia adalah mayoritas sehingga mereka harus dijadikan
titik berat dalam setiap pembuatan kebijakan-kebijakan atau peraturan
yang akan diberlakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Azra,MA,Prof Dr. Azyumardi.2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani. Jakarta : ICCE UIN Jakarta.
Budi, Arjdo Miriam. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Granmedia Pustaka Utama.
Fauzia, Amelia, dkk.2011.Modul Kebebasan Beragama dan Integrasi Sosial. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kusnardi, Muhammad Ibrahim.1984. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara UI Dan C.V. Sinar Bakti.
Rozak, AbduL, dkk.2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta : IAIN Jakarta press.
0 komentar:
Posting Komentar